Aku jarang sekali akur dengan bapak, bicara juga seperlunya. Kita ini ibarat dua kutub magnet yang saling bertolak. Sekali bicara kadang itu juga karena suatu masalah dan nada bicara kita tidak ada yang santai. Kucing misalnya. Bapak benci sekali dengan kucing yang agresif, lari sana sini, minta dimanja, suka masuk rumah, tidur di kamarnya. Jengkel pasti ada, apalagi ketika bapak sudah memukul atau menendang kucing itu. Pasti aku reflek teriak dan marah. Sedangkan aku sudah menganggap kucing sebagai adik sendiri yang bisa diajak main bahkan curhat. Kalian bilang aku aneh? Haha.. whatsoever.
Permasalahan seperti ini saja kadang membuatku
dan bapak bisa adu mulut yang selalu berakhir dengan “I’m the winner”. Bangga?
Tidak sama sekali. Setelahnya aku sering merasa bersalah karena aku gagal
mengambil sisi sabarku dalam menghadapi bapak. Tapi sejujurnya bapak adalah
orang yang paling memotivasi dan menjadi inspirasiku dalam segala hal. Bapak
adalah pekerja keras yang sama sekali tidak pernah mengelh. Sesekali hanya ku
dengar “duh.. capek” tapi itupun beliau ungkapkan dengan irama seolah sedang
bernyanyi.
Sebelum bapak akhirnya menyandang status sebagai
pensiunan PNS, sudah pasti bapak adalah seorang PNS. Tapi sebelum menjadi PNS
bapak bukan seorang pengangguran. Bapak anti menjadi pengangguran, seperti yang
ku tuliskan diatas bapak adalah seorang pekerja keras.
Setelah lulus dari smk teknik mesin sekitar
tahun 70an di Wonogiri, bapak memutuskan menjadi anak rantau dan pergi ke
Surabaya untuk mencari pekerjaan,
Sampai di Surabaya bapak akhirnya mendapat
pekerjaan sebagai kusir dokar dan akhirnya bapak menjadi sopir angkot. Dari dua
pekerjaan ini bapak mengumpulkan uang yang bisa dibuat bayar kontrakan sendiri
dan membeli berbagai perabotan rumah tangga, padahal ketika itu bapak belum
berkeluarga. Bapak adalah orang yang mencintai perabotan rumah tangga, seperti
kursi, lemari, kipas angin, itu semua dibeli dari hasil kerjanya sebagai kusir
dan sopir angkot. Beruntung, bapak mempunyai seorang langganan tetap yang
selalu naik angkotnya bapak. Namanya pak Widi. Beliau adalah PNS ITS. Karena
sudah sangat akrab dengan bapak, akhirnya beliau mengajak bapak untuk bekerja
di ITS. Awalnya sebagai honorer, tapi Alhamdulillah akhirnya bapak bisa
diangkat menjadi PNS. Selain itu bapak paling suka bersih-bersih rumah dan
masak, bahkan beliau lebih suka mencuci pakaiannya sendiri menggunakan tangan
daripada menggunakan mesin cuci. Bapak tidak pernah sekalipun memintaku dan ibu
untuk mencucikan pakaiannya. Satu hal yang aku suka dari bapak adalah
masakannya. Aneh, tapi aku begitu menikmatinya. Ketika bapak masak untukku dan
mas Danang, kadang mas ga mau makan masakan bapak, tapi aku selalu menikmati
masakan bapak dan memperlihatkan pada beliau bahwa masakannya enak. Ibu selalu
berpesan padaku, “apapun yang disuguhkan buat kamu, dimakan aja. Enak ga enak,
yang namanya makanan tetap harus dimakan. Biar orangnya ga kecewa” itu yang
selalu aku tunjukkan ke bapak.
Aku bangga punya bapak. Aku bangga memanggilnya
“bapak” dan tidak akan ku ganti dengan “ayah”, “papa”, “papi” atau sebutan
lainnya.
Sekeras apapun sifat bapak, aku percaya bahwa
itu adalah cara bapak melindungi keluarganya. Bapak adalah seorang lelaki yang
tidak pernah membuat sakit hati anak perempuannya dan sampai kapanpun akan
selalu menganggap bapak sebagai pahlawan.