Saturday, March 2, 2013

Ibu, maafkan aku

Namaku Dwi Atika Wiryowati. Ibu memanggilku Tika dan ayah tidak suka dengan nama ini. Entahlah, ayah dan ibu selalu berdebat. Ibuku selalu mengakhirinya dengan tidak membalas perdebatan ayah, tanda mengalah. Hanya sekali ayah mengalah, ketika ibu melahirkanku dan memberikanku nama ini. Setelah aku tumbuh dewasa aku sudah tidak pernah tahu sekalipun ayah mengalah. Masa kecilku memang selalu bersama ayah karena aku takut pada ibuku yang selalu memukul dengan benda tajam. Aku takut dengannya. Aku takut ketika harus ditinggal berdua saja dengan ibu. Memang bukan tanpa alasan ibu memukuliku. Terkadang aku tidak mau makan, tidak mau pergi mengaji, melontarkan kata-kata yang kasar pada ibu, dan masih banyak alasan lagi yang akhirnya membuat ibuku marah. kejam? ya. kupikir dulu ibuku memang ibu terkejam yang pernah ada. pernah ketika aku berusia 4 tahun ibu mengusirku dari rumah dan membungkus pakaianku dalam kantong kresek kemudian membuangnya keluar rumah. Ibu mana yang tega memperlakukan anaknya yang masih berusia balita dengan cara seperti itu? sempat ku berpikir, cuma ibuku yang lihai. Selain itu ibu juga sering mengeluh karena terlalu lelah dengan pekerjaan di rumah seperti mengepel, menyapu, memasak, mencuci,dan sebagainya. Hingga pada suatu hari ibu melempar sapu ke arahku dan berkata,

"urus kamarmu sendiri! mau sampai kapan kamu malas-malasan. tidur, makan, keluyuran! ga usah pulang sekalian!".

Aku tidak sedih ketika tahu ibu marah. Justru aku membalasnya dengan emosi yang berujung pertengkaran mulut, kemudian ibu melempar benda-benda hingga menimbulkan kegaduhan di rumah. Tapi semua berubah drastis ketika aku telah berusia 15 tahun. Ibu sudah berhenti bersikap kasar padaku. hanya sesekali ibu menegur dengan caranya yang masih mengandalkan emosi. Wajar jika akhirnya sifat ibu menurun padaku.

Beberapa tahun setelahnya ibuku semakin melunak. Belum pernah ku lihat ibu bersikap seperti ini. Bahkan segala keluhan tidak pernah ku dengar. Ibu lebih memilih diam ketika mendapati masalah. Gantian ayahku yang semakin tidak bisa diajak kompromi, kolot, dan selalu semaunya sendiri. Aku lebih memilih tidak banyak berdebat dengan ayah karena akan berakhir emosi hingga berhari-hari.

Suatu hari aku membawa seorang teman lelaki yang baru seminggu ku kenal, namanya Adam. Sudah hampir 7 jam ia berada di rumah. Tiba-tiba ibu keluar dari kamarnya dan memanggilku dengan ketus.

"Tika, ada telepon buat kamu".

sesampainya di depan telepon rumah ternyata telepon dalam keadaan tertutup dan ibu hanya beralasan agar dapat menegurku.

"kamu tahu waktu ga? temanmu juga. dari jam 2 siang sampai jam 9 malam bertamu ke rumah orang! apa ga malu sama tetangga?"

aku hanya diam. ah, sudahlah aku memang salah. setidaknya ibu tidak pernah lagi marah dengan membanting segala benda yang bisa digenggam tangan.
Ya.. kemarahan-kemarahan semacam itu saja yang beberapa kali ku dengar dan tidak sering seperti dulu. mungkin karena aku sudah bisa dijadikan teman berbagi cerita atau mungkin karena anak usia dewasa sudah tidak pantas lagi diperlakukan seperti ketika balita, dipukuli, dicubit, dikurung dalam kamar mandi. Tuhan.. balita pun rasanya juga tidak pantas mendapat perlakuan seperti itu.

Setelah kini aku kuliah, aku seringkali masuk pagi dan pulang malam. pertemuan dengan ibu jarang terjadi, mungkin di akhir pekan. itupun jika aku di rumah. segala pekerjaan rumah tangga dikerjakannya sendirian. tidak pernah sekalipun memaksaku untuk memasak, mencuci baju, membersihkan rumah. sekalipun aku di rumah dan hanya bersantai, menonton televisi, bermain handphone, dan ketika itu pula ibu repot memasak disambi mencuci baju. semalas apapun aku, ibu tidak pernah menegur. mungkin ibu menungguku sadar dan sayangnya aku susah untuk sadar diri. . Aku hanya diam, tak jarang aku menangis ketika Tuhan memberikan waktu-Nya untuk berdua saja denganku.

Sekali dua kali aku terketuk untuk membuatnya bahagia atau setidaknya membantu beberapa pekerjaannya di rumah. Tapi entahlah, ibu merasa bahagia atau tidak. Yang ku lihat, ibu selalu tersenyum di sela-sela kelelahannya.

Terima kasih Tuhan..
Terima kasih Ibu..
Maafkan Tika

No comments:

Post a Comment