Monday, December 24, 2012

Satu Atap Dua Wanita


Lima hari setelah anniversary pertama, Pandu memulai pembicaraan yang kuanggap tak penting untuk didengar. Bagiku, ruangan gelap ini terasa bagai tempat pembuangan sampah, kumuh, dan pengap. Ditambah lagi dengan banyaknya tissu yang berserakan. “Jangan nangis lagi, aku minta maaf”, pintanya. Mana mungkin dalam keadaan seperti ini tidak menangis. Dalam keadaan bahagia saja aku mudah menangis. “Suatu saat nanti, kalo aku sudah sukses aku bakal cari Tania lagi, bakal jaga Tania selamanya”. Aku sudah patah pikiran. Hidungku kembang kempis dan memerah. Suaraku sengau dan nafasku sesak. “Tega sekali orang ini! Pria tanpa hati!”, pikirku. Sejak saat itu hubunganku dan Pandu berakhir tanpa alasan yang jelas. Alasan yang sampai 2 bulan ini masih kucari. Aku pasrah. Menangis dalam sujud merupakan pilihan terbaik daripada menangis di depan Pandu, dapat apa?
Dua bulan ini aku menyimpan semua cerita. Menyimpan dari mulut-mulut yang comel. Menyimpan dari kuping-kuping wanita malam. Aku mati rasa. Hingga ku dengar bahwa Pandu sedang dekat dengan teman kantornya, Lini.

Pasrah? Ikhlas? Tidak. Bukan porsiku untuk menapaki fase pasrah. Ku cari siapa Lini dan seberapa dekat hubungan mereka. Hal seperti ini memang akan membuat hati dan pikiranku sendiri kehilangan tempat berteduhnya. Mereka menjadi liar dan saling adu. Ku temukan siapa Lini. Perempuan cantik yang berprofesi sebagai model dengan wajah eksotis dan tubuh berisi. “Lini itu siapa?”, tanyaku pada Pandu.
“Teman kerja. Kenapa?”
“Suka sama Lini?”
“Lini sudah punya pacar. Cuma dia lebih nyaman sama aku”
Dengan lirih Pandu bercerita padaku. Dengan geram pula aku menyimpan banyak pertanyaan yang tak sampai hati ku lontarkan semuanya. Yang ku tahu, Lini sering bermain ke rumah Pandu, sekedar makan siang hingga numpang tidur siang. Kupikir dia perempuan tanpa hati yang sedang mencoba bermain hati. Hati orang. Sudah ku pastikan dua hingga tiga minggu kedepan statusmu sudah berubah menjadi single. Jalan ceritamu mudah ditebak, cantik. Tertawa sinis menanggapi dangkalnya otakmu.

Satu bulan setelahnya, Lini semakin intens dengan Pandu. Mulut pandu manis, lidahnya seolah sudah dilatih untuk bergerak lentur. “Lini cuma jadi pengganggu. Datang cuma nangis, maksa jemput, dan aku ga bisa apa-apa”. Oh, jadi siapa yang bodoh? Entahlah, aku rasa perempuannya yang tidak tahu bagaimana cara menggunakan hati dan Pandu juga mulai linglung dengan fungsi otaknya. Inilah mengapa hati dan pikiran tak pernah senada. Pandu jelas berkata bahwa perempuan itu hanya pengganggu tapi selangkahpun ia tidak bisa pergi, malah semakin nyantol, dan terkesan memanjakan.
Sampai akhirnya aku mendengar wanita paruh baya yang tinggal di depan rumah Pandu berkata pada suaminya sembari sesekali melirik ke arahku, “Perempuannya nambah lagi, jadi dua sekarang”. Oh, Tuhan! Dramatis sekali, dalam keadaan langit yang perlahan meneteskan butir air, aku harus mendengar celotehan yang lusuh.

Makin lama Lini semakin ganas. Tiap hari berteduh di dalam gelap bersama Pandu. Sesak. Bahkan sampai sekarang Pandu masih sering mengumbar rindu dan sayang padaku. Munafik. Aku masih sayang dan akan selalu seperti ini. Setahun kemarin aku yang masih sering berteduh dalam peluk dan doa dibawah atap penuh saksi. Setelah berakhirpun, aku masih sempat beberapa kali menginjakkan kakiku diatas hangatnya lantai rumahmu. Beberapa kali bercengkrama dalam diam dan bisingnya musik dari dalam kamarmu. Sekarang, beraninya perempuan tanpa hati itu masuk perlahan, menyentuhmu, dan berbaring sesuka tubuhnya sendiri. Pandu sudah ku maki dibalik lembutnya perkataanku, “jadikan apa yang pribadi dalam dirimu menjadi pribadimu selamanya. Jangan biarkan teman perempuanmu masuk, kecuali kalian beribadah. Aku minta maaf. Aku paham, ini bukan porsiku”
“Ya, terimakasih..” jawabnya singkat.
Setelahnya, aku jadi mati rasa. Otakku mulai ku atur kembali. Hatiku? Biarkan ia tetap bertahan pada janjinya yang bodoh, janji untuk menunggu hati yang sudah mati. Lini sudah terlanjur senang dengan kepalsuan Pandu. Ku biarkan juga Lini mencicipi manisnya berada dalam genggaman Pandu, entah bagaimana kelanjutannya. Mungkin aku dibiarkan berada jauh beberapa jengkal di belakang kalian sebelum akhirnya Tuhan memajukanku kembali tanpa celah di samping Pandu. Suatu saat nanti.. Hanya akan ada satu wanita dalam satu atap.