Lima hari setelah anniversary pertama,
Pandu memulai pembicaraan yang kuanggap tak penting untuk didengar. Bagiku,
ruangan gelap ini terasa bagai tempat pembuangan sampah, kumuh, dan pengap.
Ditambah lagi dengan banyaknya tissu yang berserakan. “Jangan nangis lagi, aku
minta maaf”, pintanya. Mana mungkin dalam keadaan seperti ini tidak menangis.
Dalam keadaan bahagia saja aku mudah menangis. “Suatu saat nanti, kalo aku
sudah sukses aku bakal cari Tania lagi, bakal jaga Tania selamanya”. Aku sudah
patah pikiran. Hidungku kembang kempis dan memerah. Suaraku sengau dan nafasku
sesak. “Tega sekali orang ini! Pria tanpa hati!”, pikirku. Sejak saat itu
hubunganku dan Pandu berakhir tanpa alasan yang jelas. Alasan yang sampai 2
bulan ini masih kucari. Aku pasrah. Menangis dalam sujud merupakan pilihan
terbaik daripada menangis di depan Pandu, dapat apa?
Dua bulan ini aku menyimpan semua cerita.
Menyimpan dari mulut-mulut yang comel. Menyimpan dari kuping-kuping wanita
malam. Aku mati rasa. Hingga ku dengar bahwa Pandu sedang dekat dengan teman
kantornya, Lini.
Pasrah? Ikhlas? Tidak. Bukan porsiku untuk menapaki
fase pasrah. Ku cari siapa Lini dan seberapa dekat hubungan mereka. Hal seperti
ini memang akan membuat hati dan pikiranku sendiri kehilangan tempat
berteduhnya. Mereka menjadi liar dan saling adu. Ku temukan siapa Lini.
Perempuan cantik yang berprofesi sebagai model dengan wajah eksotis dan tubuh
berisi. “Lini itu siapa?”, tanyaku pada Pandu.
“Teman kerja. Kenapa?”
“Suka sama Lini?”
“Lini sudah punya pacar. Cuma dia lebih nyaman
sama aku”
Dengan lirih Pandu bercerita padaku. Dengan
geram pula aku menyimpan banyak pertanyaan yang tak sampai hati ku lontarkan
semuanya. Yang ku tahu, Lini sering bermain ke rumah Pandu, sekedar makan siang
hingga numpang tidur siang. Kupikir dia perempuan tanpa hati yang sedang
mencoba bermain hati. Hati orang. Sudah ku pastikan dua hingga tiga minggu
kedepan statusmu sudah berubah menjadi single. Jalan ceritamu mudah
ditebak, cantik. Tertawa sinis menanggapi dangkalnya otakmu.
Satu bulan setelahnya, Lini semakin intens dengan
Pandu. Mulut pandu manis, lidahnya seolah sudah dilatih untuk bergerak lentur.
“Lini cuma jadi pengganggu. Datang cuma nangis, maksa jemput, dan aku ga bisa
apa-apa”. Oh, jadi siapa yang bodoh? Entahlah, aku rasa perempuannya yang tidak
tahu bagaimana cara menggunakan hati dan Pandu juga mulai linglung dengan
fungsi otaknya. Inilah mengapa hati dan pikiran tak pernah senada. Pandu jelas
berkata bahwa perempuan itu hanya pengganggu tapi selangkahpun ia tidak bisa
pergi, malah semakin nyantol, dan terkesan memanjakan.
Sampai akhirnya aku mendengar wanita paruh baya
yang tinggal di depan rumah Pandu berkata pada suaminya sembari sesekali
melirik ke arahku, “Perempuannya nambah lagi, jadi dua sekarang”. Oh, Tuhan!
Dramatis sekali, dalam keadaan langit yang perlahan meneteskan butir air, aku
harus mendengar celotehan yang lusuh.
Makin lama Lini semakin ganas. Tiap hari
berteduh di dalam gelap bersama Pandu. Sesak. Bahkan sampai sekarang Pandu
masih sering mengumbar rindu dan sayang padaku. Munafik. Aku masih sayang dan
akan selalu seperti ini. Setahun kemarin aku yang masih sering berteduh dalam
peluk dan doa dibawah atap penuh saksi. Setelah berakhirpun, aku masih sempat
beberapa kali menginjakkan kakiku diatas hangatnya lantai rumahmu. Beberapa
kali bercengkrama dalam diam dan bisingnya musik dari dalam kamarmu. Sekarang,
beraninya perempuan tanpa hati itu masuk perlahan, menyentuhmu, dan berbaring
sesuka tubuhnya sendiri. Pandu sudah ku maki dibalik lembutnya perkataanku,
“jadikan apa yang pribadi dalam dirimu menjadi pribadimu selamanya. Jangan biarkan
teman perempuanmu masuk, kecuali kalian beribadah. Aku minta maaf. Aku paham,
ini bukan porsiku”
“Ya, terimakasih..” jawabnya singkat.
Setelahnya, aku jadi mati rasa. Otakku mulai ku
atur kembali. Hatiku? Biarkan ia tetap bertahan pada janjinya yang bodoh, janji
untuk menunggu hati yang sudah mati. Lini sudah terlanjur senang dengan
kepalsuan Pandu. Ku biarkan juga Lini mencicipi manisnya berada dalam genggaman
Pandu, entah bagaimana kelanjutannya. Mungkin aku dibiarkan berada jauh
beberapa jengkal di belakang kalian sebelum akhirnya Tuhan memajukanku kembali
tanpa celah di samping Pandu. Suatu saat nanti.. Hanya akan ada satu wanita
dalam satu atap.